Sumpah Palapa
Tadinya saya hanya ingin mengetahui
bunyi sumpah palapa yang terkenal itu, akan tetapi malah ketemu
ceritanya yang lebih menarik, biasa hasil googling. Bunyi sumpah palapa
tersebut adalah sebagai berikut:
“Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah
ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo,
ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa.”Terjemahannya adalah:
“Jika telah mengalahkan Nusantara, saya baru akan melepaskan puasa, jika berhasil mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya baru melepaskan puasa saya.”
Cerita lengkapnya ada dibawah ini
Gajah Mada: Kejanggalan Manifestasi Sumpah Palapa
Tim Wacana Nusantara
Tim Wacana Nusantara
6 August 2009
Pararaton yang ditulis dalam tahun 1613M
(Padmapuspita, 1966 : 91) dan Nagarakretagama ditulis dalam tahun 1365 M
(Slamet Mulyana 1979 : 9) keduanya menjadi satu pembahasan untuk
menerawang Sumpah Palapa dan sistem kesatuan yag diinginkan Sang Maha
patih, sebab naskah Pararaton menyebut di dalamnya Sumpah Palapa yang
terkenal itu, sedangkan Nagarakretagama memuat wilayah negeri yang masuk
dalam kekuasaan dan wibawa Majapahit.
Kata “sumpah” itu sendiri tidak terdapat di
dalam kitab Pararaton, hanya secara tradisional dan konvensional para
ahli Jawa Kuno menyebutnya sebagai Sumpah Palapa. Bunyi selengkapnya
teks Sumpah Palapa menurut Pararaton edisi Brandes (1897 : 36) adalah
sebagai berikut:
Sira Gajah Madapatih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada:
“Lamun huwus kalah nusantara isun amukti
palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru,
ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun
amukti palapa.”
Terjemahannya adalah:
Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasanya. Beliau “Jika telah mengalahkan Nusantara, saya baru akan melepaskan puasa, jika berhasil mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya baru melepaskan puasa saya.”
Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasanya. Beliau “Jika telah mengalahkan Nusantara, saya baru akan melepaskan puasa, jika berhasil mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya baru melepaskan puasa saya.”
Kepulauan Nusantara berada di wilayah
peradaban Sindhu, yang oleh pelancong sekaligus sejarawan China disebut
Shintu, oleh sejarawan Arab disebut Hindu, dan oleh orang-orang barat
disebut Indisch, Hindia, Indo.
Dalam perspektif sejarah Indonesia,
perjalanan Sumpah Palapa hingga sekarang boleh dikatakan tidak mulus.
Sesudah Majapahit tidak berfungsi secara optimal perjalanan sejarah
berikutnya sampai dengan saat ini, dipernuhi dengan perpecahan yang
mengarah kepada faktor-faktor disintegrasi bangsa, seperti
periode-periode Demak, Pajang, Mataram, dan pecahnya Mataram menjadi
Yogyakarta dan Surakarta, di mana dalam periode-periode tersebut
Nusantara disibukkanoleh konfrontasi budaya antara kaum tradisionalis
yang diwakili oleh sisa-sisa kekuatan Majapahit dengan kaum pembaharu
yang diwakili oleh kalangan Demak yang bernafaskan Islam, sementara itu
disaat yang sama kekuatan VOC masuk, mengail di air yang keruh yang
kemudian berubah menjadi penjajah. Tidak hanya itu, di kalangan intern
Yogya dan Solo terjadi peperangan yang kompleks, berupa perebutan
kekuasaan di antara intern kalangan keraton ditambah dengan campur
tangannya Belanda untuk memecah belah dengan politik devide et
impera-nya. Kejadian yang sama berulang oleh kita sendiri atas bangsa
kita sendiri. Sungguh mengerikan!.
Pengalaman empat dasawarsa mitos Sumpah
Palapa memperlihatkan manifestasi mengerikan ketika bertemu dengan
keterlibatan militer dalam kehidupan sosial-politik, sekaligus
jalur-jalur ekonomi strategis. Sumpah Palapa yang dicetuskan oleh Maha
Patih Gajah Mada mengandung klaim wilayah, bukan klaim penduduk! Gajah
Mada bukan tertarik mempersatukan penduduk menjadi rakyat yang
sederajat, melainkan untuk meluaskan wilayah kekuasaan kemaharajaannya.
Majapahit mencapai puncak kejayaannya di
masa pemerintahan Hayam Wuruk, ketika Gajah Mada menjadi patihnya,
tetapi, setelah itu perlahan namun pasti menuju kemunduran, kemerosotan,
dan akhirnya hancur-lebur! Kenapa? Karena, landasan yang disiapkan oleh
Gajah mada tidak kuat! Ya, tidak kuat. Kita memang menghormati Sang
maha Patih; kita menghargai pengorbanannya, tetapi kita tidak boleh lupa
belajar dari kegagalannya.
Seperti apakah landasan yang disiapkan oleh Sang Maha Patih?
Landasan Kekuatan Militer
Kepulauan Nusantara terdiri atas sekian banyak suku-bangsa. Tidak semua suku bangsa siap bisa menerima “batas-batas wilayah” yang ditentukan oleh Maha Patih. Pertanyaan besarnya adalah: Mengapa mereka harus menyerahkan kedaulatan mereka dan tunduk pada Majapahit? Alhasil, terjadilah letupan-letupan kecil di mana-mana. Majapahit harus menghadapinya dengan kekuatan militer. “Sumpah Palapa” yang diucapkan oleh Sang Maha Patih yang menempatkan kesatuan wilayah di atas segalanya, dan at any cost, dengan harga berapa saja.
Kepulauan Nusantara terdiri atas sekian banyak suku-bangsa. Tidak semua suku bangsa siap bisa menerima “batas-batas wilayah” yang ditentukan oleh Maha Patih. Pertanyaan besarnya adalah: Mengapa mereka harus menyerahkan kedaulatan mereka dan tunduk pada Majapahit? Alhasil, terjadilah letupan-letupan kecil di mana-mana. Majapahit harus menghadapinya dengan kekuatan militer. “Sumpah Palapa” yang diucapkan oleh Sang Maha Patih yang menempatkan kesatuan wilayah di atas segalanya, dan at any cost, dengan harga berapa saja.
Ia tidak menjelaskan untuk apa Nusantara
harus bersatu. Untuk mempersatukan Kepulauan Nusantara semestinya
kekuatan militer tidak digunakan. Itu buka cara yang tepat. Semestinya
masyarakat Kepulauan disadarkan akan akar budaya mereka yang satu dan
sama; akar budaya yang sekaligus mempersatukan mereka dengan yang
lainnya sesama kesatuan.
Ekspedisi militer yang dilakukan oleh sang
Maha Patih adalah kesalahan besar yang dilakukannya. Niatnya baik, tapi
caranya tidak tepat, maka kesatuan yang tercipta sangat rapuh, dan
sangat rentan walaupun terhadap sedikit guncangan dari luar. Kesatuan
yang tercipta sepenuhnya tergantung pada keperkasaan dan kharisma Gajah
Mada beserta kekuatan militernya. Maka yang tercipta adalah ketakutan
keterpaksaan dan kebencian.
Nusantara harus dipandang sebagai kumpulan
kepulauan yang utuh menyeluruh, walau pun berbeda-beda suku, agama, dan
kepercayaannya. Ia membawa berkah bermakna: tidak ada seorang pun yang
rela kalau Nusantara dirobek-robek oleh penghuninya sendiri, kecuali
oleh orang-orang yang tidak mengerti, yaitu orang-orang yang tidak
memiliki jati diri bangsa bersatu.
Kesejahteraan dan Kemakmuran Materi
Tidak ada yang meragukan kekayaan melimpah negeri ini, negeri yang diibaratkan zamrud di khatulistiwa, alur waktu dari dulu telah memberikan bukti nyata akan keberadaaanya, primadona dalam perdagangan dan hasil bumi yang melimpah, penduduk makmur sejahtera slogan-slogan kemakmuran pun berkumandang di seantero negeri ini. Namun, beberapa pihak dengan teliti lagi cerdik memanfaatkan semua itu, memanfaatkan untuk mereka sendiri. Dan sebagian lainnya bekerja dengan keras namun hasilnya hanya keringat. Hanya lelah dan imbalan seperlunya.
Tidak ada yang meragukan kekayaan melimpah negeri ini, negeri yang diibaratkan zamrud di khatulistiwa, alur waktu dari dulu telah memberikan bukti nyata akan keberadaaanya, primadona dalam perdagangan dan hasil bumi yang melimpah, penduduk makmur sejahtera slogan-slogan kemakmuran pun berkumandang di seantero negeri ini. Namun, beberapa pihak dengan teliti lagi cerdik memanfaatkan semua itu, memanfaatkan untuk mereka sendiri. Dan sebagian lainnya bekerja dengan keras namun hasilnya hanya keringat. Hanya lelah dan imbalan seperlunya.
Mahapatih Gajah Mada memberikan iming-iming
kesejahteraan yang dijamin oleh kerajaan, tanah perdikan hingga
penetapan sima di mana-mana. Penarikan upeti dan kesejahteraan sebagai
Negara bawahan membawa dampak yang buruk dalam mekanisme dan pembangunan
mental mandiri.
Landasan ini pun sungguh sangat rapuh.
Warga masyarakat dan petinggi Negara yang sudah merasa mapan menjadi
malas, tak peduli terhadap bangsa dan Negara. Keadaan itu semakin
diperparah oleh iklim tropis dengan udaranya yang lembab. Mereka yang
seharusnya bersuara malah berpikir, “Ah, itu bukan urusanku. Selama aku
masih bisa makan, minum dan hidup nyaman, ya sudah!”
Setiap orang hanya memikirkan perut. Setiap
orang hanya memikirkan kantongnya sendiri. Pihak-pihak asing yang
selalu menunggu kesempatan seperti itu langsung memanfaatkan situasi.
Mereka melakukan eksploitasi lebih lanjut. Mereka membawa alat-alat
besar mereka supaya penjarahan menjadi lebih afdol!
Penjarahan yang terjadi dulu ibarat “susu
seliter dicampur air”. Sekarang, “air dicampur susu” diberi warna
sedikit, sehingga tidak asa yang menyangka bahwa apa yang diminumnya itu
bukan susu lagi, air biasa, air berwarna putih tanpa gizi.
Cinta terhadap Negara, kepedulian terhadap
bangsa sirna. Keduanya terkalahkan oleh urusan kenikmatan dan
kenyamanan. Nilai pengorbanan, kesediaan dan kerelaan untuk mengorbankan
jiwa dan raga diganti dengan penyembelihan hewan yang tidak bersalah.
Sementara itu, sifat hewani dalam diri kita malah diberi makan dan
digemukan.
Keagamaan
Ritual mengemuka, tapi landasan budi pekerti diabaikan. Esensi agama tidak dipelajari, karena mempelajari esensi berarti menjalaninya pula. Dan untuk menjalani agama, melakoni ajaran agama, dibutuhkan kesadaran, pengorbanan dan nilai-nilai lain yang tinggi. Menjalani ritual jauh lebih mudah.
Semua agama dibiarkan berkembang, bahkan perkembangannya didukung oleh Negara tanpa batas. Itu bagus. Tapi, bagian apa dari agama? Bagian apa yang seharusnya didukung perkembangannya?
Silahkan mendukung pembangunan tempat-tempat ibadah “tanpa pilih kasih”. Silahkan melaksanakan ritual-ritual keagamaan. Silahkan membiayai kegiatan-kegiatan keagamaan. Tetapi, jangan lupa bahwa semua itu hanya memiliki arti jika berhasil mengagamakan jiwa kita, roh kita!
Ritual mengemuka, tapi landasan budi pekerti diabaikan. Esensi agama tidak dipelajari, karena mempelajari esensi berarti menjalaninya pula. Dan untuk menjalani agama, melakoni ajaran agama, dibutuhkan kesadaran, pengorbanan dan nilai-nilai lain yang tinggi. Menjalani ritual jauh lebih mudah.
Semua agama dibiarkan berkembang, bahkan perkembangannya didukung oleh Negara tanpa batas. Itu bagus. Tapi, bagian apa dari agama? Bagian apa yang seharusnya didukung perkembangannya?
Silahkan mendukung pembangunan tempat-tempat ibadah “tanpa pilih kasih”. Silahkan melaksanakan ritual-ritual keagamaan. Silahkan membiayai kegiatan-kegiatan keagamaan. Tetapi, jangan lupa bahwa semua itu hanya memiliki arti jika berhasil mengagamakan jiwa kita, roh kita!
Bangunan- bangunan yang semestinya
digunakan untuk kegiatan ibadah malah digunakan untuk menghasut, agar
sesamae anak bangsa saling membenci. Bangunan-bangunan yang semestinya
digunakan untuk kegiatan ibadah malah digunakan untuk memecah belah
bangsa ini; bukan untuk mempersatukan; untuk menciptakan konflik, bukan
untuk kedamaian; untuk menciptakan kekacauan, bukan ketenangan dan
keamanan.
Itu yang terjadi dulu di Majapahit,
sehingga seorang anak pun tidak merasa bersalah untuk melawan ayahnya
sendiri karena urusan agama. Kemudian lahirlah kebebasan beragama,
hingga dalam tatanan pemerintahan diberlakukan kebebasan yang serupa,
namun fungsi kontrol Negara sangat lemah. Agama dibiarkan merasuki sendi
perpolitikan memasuki ranah yang seharusnya tidak tersentuh, menyebar
ke dalam urat nadi kehidupan dan jauh dari hakikat agama itu sendiri.
Pembenaran Mencapai Tujuan
Tujuan Sang Maha Patih memang mulia. Ia ingin mempersatukan kepulauan Nusantara; dan lewat persatuan itu ia hendak menciptakan kedamaian. Jadi tidak ada yang salah dengan tujuannya. Yang salah adalah cara yang ditempuhnya untuk mencapai tujuannya itu.
Tujuan Sang Maha Patih memang mulia. Ia ingin mempersatukan kepulauan Nusantara; dan lewat persatuan itu ia hendak menciptakan kedamaian. Jadi tidak ada yang salah dengan tujuannya. Yang salah adalah cara yang ditempuhnya untuk mencapai tujuannya itu.
Perseteruan yang terjadi antara Pakuan
Pajajaran dan Majapahit merupakan sebuah implementasi yang salah dari
tujuan yang menerabas berbagai cara demi tujuannya itu. Berbagai
literature telah mengkisahkan kejadian demi kejadian di Palagan Bubat,
titik point-nya hanya satu, ada kesalah pahaman, ada sebuah permainan
dan intrik yang telah dimainkan Sang Maha Patih.
Kesatuan dan persatuan dengan caranya bukan
dengan cara bersama yang dulu digadangkan Kertanegara, ambisi dan
hilangnya filter sosial telah membutakan Maha Patih, ia seolah haus akan
kekuasaaan tanpa sadar bahwa batasan-batasan yang ada wajib dihormati,
tanpa menyadari bahwa kedaulatan atas satu golongan tidak dapat
dipaksakan.
Kurang Bersabar
Apapun yang diinginkannya harus diperoleh dalam waktu sesingkat mungkin. Sifat ini barangkali baik bagi seorang pekerja, namun tidak cocok bagi seorang negarawan. Tidak berarti seorang negarawan harus bersabar terus. Seorang negarawan dituntut untuk bekerja lebih keras dari seorang pekerja biasa. Ia mengabdi pada Negara; dan tugas itu adalah pekerjaan purna waktu.
Apapun yang diinginkannya harus diperoleh dalam waktu sesingkat mungkin. Sifat ini barangkali baik bagi seorang pekerja, namun tidak cocok bagi seorang negarawan. Tidak berarti seorang negarawan harus bersabar terus. Seorang negarawan dituntut untuk bekerja lebih keras dari seorang pekerja biasa. Ia mengabdi pada Negara; dan tugas itu adalah pekerjaan purna waktu.
Gajah Mada memang telah menjadikan urusan
kenegaraannya sebagai hidupnya, tidak ada yang menyangsikan bahwa ia
tidak memiliki perhatian terhadap Negara. Namun di balik semua itu, ia
hanya mendengar kata yang diucapkan oleh Prapanca beserta orang-orang
lainnya yang memujinya setinggi langit, Suara Tantular tidak pernah
diperhitungkan!”
Mpu Tantular menulis Kakawin Sutasoma untuk
mengkritik Gajah Mada. Saat itu fondasi yang dipakai oleh Sang Maha
Patih guna menyatukan Nusantara begitu rapuh. Deklarator Sumpah Palapa
tersebut menggunakan strategi militer, ekonomi dan agama. Sebagai
alternatif, Sang Mpu menawarkan pendekatan budaya untuk mengatasi krisis
multi dimensi yang mendera Majapahit.
Gajah Mada tidak memahami maksud Sang Mpu. Ia adalah gaja atau gajah yang sedang mada, mabuk!
Julukan itu dia peroleh dari mereka yang mengenal dia dengan baik, “kau betul-betul seperti gajah yang mabuk.” Mereka hendak Menyadarkan Sang Maha Patih, “Janganlah kau termabukan oleh kekuasaan, kekuatan dan keperkasaan.” Julukan itu dimaksudkan sebagai sindiran, tapi Sang Maha Patih malah menganggapnya sebagai pujian. Ia membiarkan orang memanggilnya dengan sebutan itu. Gajah Mada bukanlah nama asli Sang Maha Patih. Mengalir pula di dalam tubuhnya bukan saja darah Indonesia, tetapi darah China. Itu tidak menjadi soal dan memang tidak ada yang mempersoalkan hal itu.
Julukan itu dia peroleh dari mereka yang mengenal dia dengan baik, “kau betul-betul seperti gajah yang mabuk.” Mereka hendak Menyadarkan Sang Maha Patih, “Janganlah kau termabukan oleh kekuasaan, kekuatan dan keperkasaan.” Julukan itu dimaksudkan sebagai sindiran, tapi Sang Maha Patih malah menganggapnya sebagai pujian. Ia membiarkan orang memanggilnya dengan sebutan itu. Gajah Mada bukanlah nama asli Sang Maha Patih. Mengalir pula di dalam tubuhnya bukan saja darah Indonesia, tetapi darah China. Itu tidak menjadi soal dan memang tidak ada yang mempersoalkan hal itu.
Kawan dan Lawan
Aditiawarman, adalah seorang sahabat yang telah berjasa bagi Majapahit, namun setelah bantuannya tidak dibutuhkan lagi, Gajah Mada bersikap dingin terhadapnya. Barangkali Gajah Mada merasa dirinya tersaingi oleh Aditiawarman, karena selain perkasa, dia juga masih memiliki hubungan darah dengan dinasti Majapahit. Sikap dingin antara mereka berdua memang tidak pernah berubah menjadi permusuhan terbuka, tetapi akhirnya Aditiawarman memutuskan untuk kembali ke Tanah Minang.
Aditiawarman, adalah seorang sahabat yang telah berjasa bagi Majapahit, namun setelah bantuannya tidak dibutuhkan lagi, Gajah Mada bersikap dingin terhadapnya. Barangkali Gajah Mada merasa dirinya tersaingi oleh Aditiawarman, karena selain perkasa, dia juga masih memiliki hubungan darah dengan dinasti Majapahit. Sikap dingin antara mereka berdua memang tidak pernah berubah menjadi permusuhan terbuka, tetapi akhirnya Aditiawarman memutuskan untuk kembali ke Tanah Minang.
Di Sumatera ia memposisikan dirinya sebagai
Datuk, dan “di atas kertas” walaupun tetap bernaung di bawah Majapahit,
sesungguhnya ia sudah “jalan sendiri”. Akibat dari perpecahan ini kelak
dirasakan oleh anak cucu mereka. Mungkin masih ada terdengar keluhan
orang Sumatera, “Orang Jawa (Maha Patih Gajah Mada) datang ke pulau kami
untuk menjarah. Mereka ingin berkuasa.” Keluhan-keluhan seperti ini
tidak jarang berkembang menjadi tuduhan “Jawanisasi”.
Tuduhan “Jawanisasi” juga dilontarkan oleh
pulau-pulau lain, khususnya Sulawesi dan Kalimantan. Padahal, jika kita
mempelajari sejarah budaya kita dengan kepala dingin, memang ada benang
merah yang mengikat dan mempertemukan kepulauan kita. “Jawanisasi”
adalah mitos yang berkembang dari rasa tidak enak mereka terhadap apa
yang telah dilakukan oleh Gajah Mada dahulu yang memberlakukan Nusantara
sebagai tanah jajahan, sebagai mana kebencian rakyat Sunda akan kisah
serupa.
Sesungguhnya jika kita memahami jauh lebih
bijak catatan sejarah masa lalu maka arifkah kita masih membenamkan diri
kita pada kesalahan masa lalu. Akar budaya kita memang satu dan sama.
Adalah suatu kebetulan, jika budaya itu masih hidup, dan oleh karenanya
terasa dan terlihat sisa-sisanya di pulau Jawa. Sementara itu, di tempat
lain barangkali sudah sekarat, sekarat… belum mati!
Mempersiapkan Kader
Seperti semasa ia berkuasa program kaderisasi memang tidak berjalan sama sekali. Dia lupa bahwa dirinya sendiri dipersiapkan oleh Arya Tadah, seorang Patih yang kemudian merelakan jabatannya demi dia. Barangkali, ia seorang perfeksionis. Ia merasa dirinya paling hebat, dan orang lain tidak sehebat dirinya. Inilah akibat rasa percaya diri yang berlebihan.
Seperti semasa ia berkuasa program kaderisasi memang tidak berjalan sama sekali. Dia lupa bahwa dirinya sendiri dipersiapkan oleh Arya Tadah, seorang Patih yang kemudian merelakan jabatannya demi dia. Barangkali, ia seorang perfeksionis. Ia merasa dirinya paling hebat, dan orang lain tidak sehebat dirinya. Inilah akibat rasa percaya diri yang berlebihan.
Kesalahan yang sama telah dilakukan oleh
setiap mereka yang telah berkuasa. Mereka “lupa” bahwa setiap orang akan
mati dan tidak dapat berkuasa untuk selamanya mungkin tidak lupa, tapi
tidak mau menerima kenyataan dengan rela. Sementara itu, mekanisme
pemerintahan tidak boleh berhenti dan harus berjalan terus menuju
kemajuan.
Penutup
Setiap orang memaknai sejarah dalam ruang lingkupnya masing-masing, kesederhanaan pikiran serta keutamaan membaca sejarah dalam dimensi lain membawa kita dalam arus berlainan. Memaknai bukan berarti hanya dari segi positifnya saja, karena ada bagian lain yang lebih memberikan pelajaran bagi kita. Bukan berarti mengesampingkan jasa dan pengorbanan yang dilakukan seseorang untuk negeri ini. Akan tetapi, menilai seseorang akan jauh lebih bijak jika dari dekat kemudian menjauhinya untuk menemukan kebenaran dari pandangan orang di kejauhan atas apa yang telah ia lakukan.
Setiap orang memaknai sejarah dalam ruang lingkupnya masing-masing, kesederhanaan pikiran serta keutamaan membaca sejarah dalam dimensi lain membawa kita dalam arus berlainan. Memaknai bukan berarti hanya dari segi positifnya saja, karena ada bagian lain yang lebih memberikan pelajaran bagi kita. Bukan berarti mengesampingkan jasa dan pengorbanan yang dilakukan seseorang untuk negeri ini. Akan tetapi, menilai seseorang akan jauh lebih bijak jika dari dekat kemudian menjauhinya untuk menemukan kebenaran dari pandangan orang di kejauhan atas apa yang telah ia lakukan.
Gajah Mada sosok kontroversi negeri ini. Ia
telah membawa banyak perubahan besar, sosok besar yang tercatat dalam
literature sejarah bangsa ini namanya seharum cita-cita sucinya.
Peranannya menggaung ke seantero Nusantara, pandangan politiknya yang
berorientasi jauh ke depan patut ditiru, kecerdikannya dalam membaca
situasi membuat ia selalu sigap akan bahaya yang mengancam kedaulatan
Negara yang ia bela.
Tulisan ini coba memberikan gambaran dari
sejarah masa lalu dalam dimensi lain, sebuah dimensi yang coba
mengungkapkan human error karena Gajah Mada bukan merupakan sosok Dewa
ia pun manusia biasa. Namun, ada beberapa kekeliruan yang luput dari
perhatiannya, sebuah kekeliruan yang menjadikanya sosoknya sebagai
bagian dari misteri kekurangan pada diri manusia. Ambisi kekuasaan
hingga kearifan dalam bernegara telah tertutupi oleh keinginan kuatnya
dalam mempersatukan Nusantara dengan caranya. Ya, dengan caranya!
Niat Gajah Mada mempersatukan bangsa ini
sungguh mulia, bahkan sangat mulia ketimbang berbicara pada tataran
konseptual saja. Namun, sekali lagi cara yang ia tempuh tidak tepat
(mungkin untuk sebagian orang benar), tidak tepat dalam pandangan
mengesampingkan kepentingan orang lain karena ada cara yang jauh lebih
bijak cara yang telah diungkapkan oleh Mpu Tantular, sebuah pendekatan
Budaya sebuah kesadaran konseptual yang ditelurkan dalam bait-bait
Sutasoma. Karena kita sama dan satu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar